Pembacaan Ayat Perang: Qs. Al-Taubah [9]:5 Prespektif Ushul Fiqh
DOI 10.58569/jies.v2i2.736
DOI:
https://doi.org/10.58569/jies.v2i2.736Keywords:
Ayat Perang, QS. At-Taubah (9.5), Ushul FiqihAbstract
ABSTRAK
Secara universal Islam menekankan pentingnya moderasi, di mana toleransi merupakan salah satu elemen kuncinya. Namun, tidak sedikit sumber ajaran Islam tertentu yang jika dibaca sepintas seolah melegitimasi tindakan intoleransi, terutama yang berkaitan dengan interaksi umat Islam dan non-Muslim. Salah satu ayat yang rentan dijadikan alasan untuk bersikap anarkis dan intoleran terhadap non muslim adalah QS. At-Taubah [9]: 5. Sekilas ayat ini memerintahkan umat Islam untuk memerangi non-Muslim. Kajian ini mencoba mengkaji QS. Al-Taubah [9]: 5 melalui perspektif ushul fiqh. Usul fiqh dipilih karena menjanjikan pembacaan sumber Islam yang moderat dan proporsional. Dengan menggunakan metode kualitatif-analitik, penelitian ini secara khusus berupaya mengungkap makna uqtulū dan ruang lingkup kata “Al-Musyrikīn” dan alasan hukum ('illat) dalam QS. Al-Taubah [9]: 5 dengan perspektif ushul fiqh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap makna tatanan perang dan mendalami ruang lingkup frasa “Al-Musyrikin” serta mengkaji alasan-alasan hukum ('illat) tatanan perang sehingga menjadi wacana alternatif yang lebih relevan dengan nilai-nilai universal perdamaian dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara harfiah makna uqtulū dalam ayat tersebut hanya menunjukkan ibāhah (diperbolehkan), tidak wajib. Sedangkan ruang lingkup lafal “Al-Musyrikīn” hanya khusus untuk orang-orang musyrik yang mengingkari perjanjian damai saat itu. Serta pengkhianatan yang menjadi penyebab hukum dari tatanan perang. Implikasinya, QS. At-Taubah [9]: 5 tidak bisa diterapkan secara umum. Apalagi dijadikan pembenaran untuk melegitimasi tindakan arogan dan intoleran terhadap non muslim, khususnya dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama.